
Menjadi Gitaris
Ketika saya diajak tampil di acara Super Guitarist 2015, tanggal 12 Desember 2015 lalu di Bandung, saya langsung teringat dengan cita-cita yang saya tulis di sampul buku saat saya SMP: “I want to be the best guitarist in the world!”. Sebuah statement yang kekanak-kanakan dari bocah usia belasan. Dua puluh tahun kemudian, saya berdiri di panggung yang sama dengan gitaris-gitaris Indonesia kelas dunia ini.
Jujur saja! Sebenarnya saya merasa kurang pede saat diajak berpartisipasi di acara Super Guitarist 2015 tanggal 12 Desember 2015 lalu di Bandung. Ini karena Mas Baron yang menghubungi saya dan meminta saya dan Rhesa ikut untuk acara ini. Apalah artinya saya, sebagai gitaris, dibandingkan nama-nama seperti Dewa Budjana, Eet Sjahranie, Iman J-rocks, Ian Antono, Gugun, Baim, Ridho Hafidz, Agung Hellfrog, Andre Tiranda, dll. Saya merasa kecil sekali. Bukan karena saya bermain gitar akustik, tetapi karena merasa kalau permainan saya masih belum se-level dibanding mereka.
Saya memutuskan main gitar akustik, setelah bertahun-tahun bermain gitar elektrik, karena untuk menghadapi kelemahan terbesar saya yaitu bermain rhythm. Gitar akustik memiliki frekuensi low yang bisa menyerupai kick bass drum dan ghost notes yang lebih kentara menyerupai hi-hat dan snare drum. Rhesa memutuskan untuk membentuk duo tanpa drum adalah sebagai tantangan bagi saya agar belajar rhythm lebih keras dengan tempo yang lebih stabil. Dan sampai sekarang, saya masih merasa belum bisa menaklukkan keduanya. Kalau kata Mas Ridho, “Belajar itu memang ngga ada habisnya. Kalau bisa juga jangan sampai habis supaya bisa terus latihan. Gue juga nggak mau selesai belajar, supaya nggak berhenti main.”.
Ada musisi yang terlahir dengan inner rhythm dan groove yang baik, tapi tidak dengan saya. Saya harus berjuang mati-matian untuk ‘merasakan’ rhythm dan groove. Tapi coba berikan nada-nada dan melodi untuk saya kulik, saya akan bisa menghapal dan memainkannya kembali dalam waktu lumayan singkat.
Ketika saya memutuskan untuk bermain gitar sambil bernyanyi, itu pun juga karena permintaan Rhesa. “Suaramu nggak bagus-bagus amat, tapi unik!”, katanya. Ya, sebagai penyanyi juga saya banyak kurangnya. Power yang lemah, suara terlalu tipis, saya tidak bisa menyanyikan nada yang ‘melintir-melintir’. Polos saja. Bahkan pernah saat paduan suara, pembibing saya bilang kalau saya jangan bernyanyi terlalu keras, karena suara saya jadi sangat menonjol. Mungkin karena cempreng. Hahaha! Saya menciptakan lagu-lagu sendiri untuk lebih mengenal siapa sebenarnya diri saya ini. Saya belajar untuk menerima kelebihan dan kekurangan saya sebagai musisi di Endah N Rhesa.
Kemudian, saya harus berkumpul dengan para gitaris top Indonesia, kalian bisa membayangkan perasaan saya?? Oh no! Apa yang harus saya lakukan?! Saya tidak yakin bisa memikat penonton yang mungkin mengharapkan permainan gitar yang virtuoso.
Salah satu faktor kebanggaan sekaligus penguat rasa percaya diri saya saat di panggung karena saya memakai gitar akustik yang sangat bagus, Cole Clark. Gitar yang menemani saya sejak awal karir Endah N Rhesa. Sejenak saya merasa tenteram. Tampil bersama Rhesa juga menjadi faktor yang menenteramkan hati saya. Saya tampil seperti apa adanya saya. Berinteraksi mengajak penonton bernyanyi, sembari saya mengoceh tanpa henti. Ya, beginilah saya! Mungkin, dari sekian banyak panggung, di acara inilah saya memainkan porsi solo gitar yang lebih panjang dari biasanya. Saya memainkan semua efek yang saya punya. Saya sangat menikmati permainan saya sendiri tanpa ada perasaan khawatir mengenai durasi waktu dan anggapan penonton tentang permainan saya. Di acara ini, saya menjadi ‘lebih gitaris’ dari biasanya.
Saya dan Rhesa juga tampil berkolaborasi dengan dan Jopie Item. Seorang gitaris yang sangat luar biasa enak mainnya. Beneran deh, mainnya enak banget. Bernyanyi. Sepertinya tidak terdengar rumit, tetapi untuk bisa bermain seperti itu memerlukan tingkat pengalaman, teknik, pengetahuan harmoni yang kompleks namun output-nya adalah simplicity. Kami sempat berlatih sekali di studio Mas Baron hanya beberapa hari sebelum tampil dan merasa nyaman sekali. Tak heran jika Jopie Item menjadi guitar hero Indonesia. Sosok beliau yang karismatik dan humble memberikan energi yang asik bagi orang-orang yang bermain bersamanya. Ketiga anaknya telah menjadi bukti betapa kuatnya pengaruh, musikalitas, dan attitude dari ayah mereka, Yai Item, Stevi Item, Audy Item.
Ini adalah kali kedua saya tampil bersama Mas Budjana. Dulu di Red & White lounge, saya pernah bermain dengan ILDB (Indra Lesmana-Dewa Budjana). Kemudian di Super Guitarist 2015, kami bermain bersama lagi di set Jopie Item. Saya sudah mengagumi Dewa Budjana sejak album Nusa Damai (1997). Saya jadi ingat jaman SMA, sekitar tahun 1998, main ke studio GIGI waktu masih berkantor di Jalan Pela Raya, Kebayoran. Itulah momen jumpa pertama saya dengan Dewa Budjana. Saya hampir datang ke semua pertunjukan Budjana Trio, saat drummer Arie Ayunir masih di Indonesia.
Pada acara Super Guitarist 2015, semua gitaris tampil berkolaborasi dengan format macam-macam. Ada format blues, jazz, metal, rock. Dan favorit saya adalah format metal! Agung Hellfrog (Burgerkill), Andre Tiranda (Siksa Kubur), Balums, Eet Sjahranie, Ramdan (Burgerkill), Adhitya (Siksa Kubur). Oh Tuhan! Mereka keren banget! Saya tidak bisa berkata-kata saat menonton penampilan mereka. Rhythm yang sangat tight, presisi, energi yang besar sekali. Dan tidak hanya saya sendiri yang merasakannya, penonton pun juga merasakan excitement yang sama!
Kemudian saya menghampiri mereka setelah usai tampil. Saya mengungkapkan betapa saya sangat mengagumi penampilan mereka. Kemudian terjadi percakapan-percakapan yang menarik antar kami. Percakapan yang menyentuh hati saya adalah ketika saya bercakap-cakap dengan Andre Tiranda (Siksa Kubur). Saya sempat mengungkapkan ketidak percayaan diri saya sebagai gitaris di tengah nama-nama besar ini. Andre menepuk pundak saya dan berkata, “Hei, look at yourself! Di sini ngga ada yang main kayak lo. Bahkan di Indonesia ini, ga ada yang main kayak lo! Guitar is a very personal thing! You put your personality on it. Jadi kita nggak mengukur permainan gitar seseorang dengan ukuran si A lebih jago, Si B lebih keren! Bukan itu. Ketika gue main gitar, solo gitar, gue suka menatap mata orang-orang yang di depan gue. Because i love to share my passion! Panggung dan gitar adalah tempat di mana gue bisa melepas semua perasaan gue. Semua masalah gue hilang begitu di atas panggung!”, katanya bersemangat. Dan saya berkaca-kaca saat mendengarnya.
Di belakang panggung, saya banyak ngobrol dengan teman-teman format metal ini. Secara genre memang musik kami berbeda, tapi secara bahasa musik saya bisa menangkap emosi dan passion yang mereka sampaikan. Mereka sangat manis dan filosofis. Saya mengagumi mereka semua.
Kemudian, after all these years, apakah cita-cita saya sewaktu SMP tadi terwujud? Tidak! Saya tidak bisa menjadi ‘the best guitarist in the world’. Saya telah menjadi diri sendiri. Beginilah saya sebagai gitaris dengan segala kelebihan dan kekurangan. Dengan cara beginilah saya akan terus belajar dan berlatih tanpa henti. Menjadi gitaris adalah pilihan. Di antara semua instrumen, gitar memilih diri saya untuk menjadi ‘partnernya’. Gitar bukan lagi sekedar alat, tetapi menjadi teman dan bagian dari sejarah hidup saya. Gitar telah membantu saya untuk menemukan diri saya yang sebenarnya. Membuat saya menjadi lebih jujur dan apa adanya. Saya bangga menjadi gitaris seperti sekarang ini. Dan saya tidak akan berhenti bermain gitar hingga tua nanti.
Sincerely,
Endah
Foto oleh Guswib