Hari itu, Minggu (22/10), Earhouse mewujudkan impian saya… mengumpulkan teman-teman musisi, seniman seni rupa, teman-teman kreatif, idealis, dan yang humoris di pelataran parkir mungil Pasar Kita, Pasar Modern Pamulang Kota.

Saya sungguh terharu dengan kehadiran teman-teman yang saya idolakan dan jadikan panutan: Marjinal, Benny & Berry Likumahuwa, AriReda, serta Robi Navicula. Mereka, yang saya dan Rhesa pilih sendiri namanya, tampil karena memiliki karya musik juga sebuah pergerakan dan idealisme yang diterapkan dalam kesehariannya.

Marjinal dengan musik, lirik, dan kontribusinya pada lingkungan tempat tinggal mereka yang menjadi ‘rumah’ bagi siapa saja untuk bisa mandiri dan berguna bagi sesama. Berani lantang dan berada dalam garis depan menyuarakan hati orang-orang yang ditindas akibat ketidakdilan. Mike, vokalis Marjinal sempat memberikan kesannya kepada Earhouse saat tampil di panggung. “Earhouse itu diibaratkan seperti ibu. Ibu yang selalu memfasilitasi kita, sebagai musisi, sebuah wadah dan tempat untuk berkarya. Semoga acara ini terus berkembang, terus membumi. Begitu juga dengan Earhouse.”, ujarnya. Sebuah pesan yang sangat mendalam. Kemudian mengalirlah lagu “Kasih Ibu” dalam bahasa Jepang disambung dengan lagu “Ibuku, Ibumu, Ibumi”. Sebelumnya mereka membawakan lagu ‘Rencong Marencong’ yang berhasil memanggil penggemarnya ke barisan depan dan mengusir awan bakal hujan!!

Robi Navicula, seorang musisi, aktivis, petani, yang konsisten dalam menghadirkan karyanya. Kepeduliannya terhadap keseimbangan lingkungan ia tumpahkan dalam lirik-lirik lagu juga penampilannya yang simpatik. Ia membawakan beberapa lagu ciptaannya, dan juga lagu Navicula. Lagu Mafia Hukum dan Busur Hujan berhasil membuat koor massal di tengah penonton yang duduk manis lesehan. Ia juga membawakan lagu ‘Kartini’, yang dipersembahkan untuk ibu-ibu petani pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, yang tengah memperjuangkan lahan mereka menolak dijadikan pabrik semen. “Saya petani, jadi saya tahu bagaimana rasanya kehilangan lahan. Saya mendukung pembangunan, tetap pembangunan harus memiliki tiga syarat yaitu bisa memberi makan masyarakatnya, membangun kemandirian, dan berkesinambungan.”, paparnya diselingi kisah menarik bahwa di negara maju saat ini sudah kehilangan binatang lebah sebagai makhluk penting dalam pembuahan tumbuhan akibat asap polutan pabrik. Dan dua pabrik yang menghasilkan polutan jahat tertinggi adalah pabrik semen dan batu bara!

AriReda adalah duo folk yang menyajikan keindahan dalam kesederhanaan. Di mana kata-kata, puisi, sastra, bisa  dilagukan dan membawa kita ke tahap interpretasi yang lebih tinggi yaitu memaknai kehidupan. Membawakan puisi karya Sapardi Djoko Damono dan Gunawan Moehamad, ditutup dengan “Aku Ingin” atas permintaan penonton yang hadir membuat suasana menjadi sangat syahdu dan haru. Saya tidak mendapati suara berisik di sekitar panggung. Semua hening menyimak. “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”, AriReda melagu. Dan kemudian rebahlah kepala saya kepangkuan Bonita (Bonita & The Hus Band) yang duduk di sebelah saya.

Benny & Barry Likumahuwa, ayah-anak yang berdedikasi pada musik, jazz khususnya. Tiada henti berkarya hingga sekarang dan, Om Benny, dari dulu selalu membuka jalan untuk musisi-musisi jazz muda untuk berkolaborasi dengan berkembang. “Saya sangat familiar dengan tempat ini. Dulu sering nonton bioskop (sekarang sudah tidak ada) waktu harga tiket masih 8500 perak. Terus sekarang, nggak nyangka saya bisa manggung di sini, main musik jazz pula, di Pamulang.”, ujar Barry sambil tergelak. Bagian menarik dan mengharukan buat saya adalah ketika terjadi percakapan musikal antara Barry dengan ayahnya melalui instrumen musiknya. Ah! Sangat menyentuh hati.

 


Saya adalah salah satu anak muda yang beruntung karena pernah mendapatkan pengalaman bermain bersama Benny Likumahuwa Jazz Connection (Benny Likumahuwa, Oele Pattiselano, (alm) Jackie Pattiselanoe, Jeffry Tahalele) dan kemudian tampil di televisi nasional berkat beliau. Itu dulu ketika saya masih baru lulus bangku SMA. Ya ampun! Berarti… 16 tahun lalu!

Ada satu momen saat melihat penampilan musisi-musisi hebat ini di panggung serta menyimak setiap kata yang meluncur saat mereka tampil. Mereka melakukan semuanya dengan sangat natural. Akhirnya saya menyadari bahwa pemahaman buah pikir, idealisme, attitude tersebut sudah menjadi keseharian mereka, bukan hanya sebagai kosmetik, jargon, atau bahkan ‘pencitraan’. Saya terhenyak. Menyadari betapa besarnya mereka! Hati dan jiwa yang besar! BESAR!!

 

 

Earhouse, sebuah tempat sederhana di Pamulang, mojok, tidak kelihatan dari jalan raya, hari itu ramai oleh orang-orang yang peduli dengan keberadaan tempat ini. Tiba-tiba, Earhouse terlihat seperti menjadi melting polt berbagai genre musik yang menghadirkan berbagai fanbase, juga komunitas seni kreatif dan kerajinan, hingga stand up comedy.

“Saya memantau terus perkembangan Earhouse dari awal. Dulu jauh sebelum ini Endah dan Rhesa pernah bilang ide-ide mengenai membangun sesuatu di tempatnya. Dan beberapa waktu kemudian wacana tersebut berubah menjadi tindakan.”, paparnya. Rasa haru tak terbendung saat mendengarkan bait lirik lagu ‘Metamorfosa Kata’ yang ia nyanyikan. “Harus ada yang mewujudkan kata-kata agar tak terpenjara di kepompong wacana.”, demikian potongan liriknya. Saya menangis, menutup wajah saya dengan kedua telapak tangan. Kembali mengingat keputusan untuk membangun tempat ini di awal tahun 2013. Seperti kata Mike Marjinal, bahwa ketika kita memiliki keinginan kuat untuk sebuah tujuan baik maka ada saja bantuan yang datang secara tidak terduga. Amin. 
 

Kemudian saya memandangi wajah teman-teman musisi yang hadir, yang duduk tak jauh dari saya. Saya terkesan melihat teman-teman Marjinal yang usai manggung sore tadi masih berada di lokasi sambil berbaur dengan penonton hingga acara selesai. Bonita dan Adoy yang datang, bertepuk tangan dan bersorak memberi support. Mba Reda dan Mas Ari yang duduk lesehan menonton Robi yang sedang tampil menutup acara hari itu.

 

Tak hanya itu, Earhouse Movement Fest dimeriahkan bersama berbagai hasil karya anak muda kreatif. Saya mengunjungi booth yang diisi teman-teman dari Pamulang, Mamang Clean & Care, Ro Pasupasu, !ncremnia, Mahde Craft, Bokumi, Demajors, Earmerch. Juga seniman-seniman muda yang menamakan mereka Lo-Cult by Earspace, yaitu Popomangun, Bulletos, Gula, Rezamorp, Mahendra Nazar.

 

Earspace adalah ruang kreatif di lantai dua Earhouse yang secara resmi di buka hari itu. Mereka luar biasa tulus dalam setiap karya dan mau menghidupkan seni kreatif di tempat ini.

Selain itu, bersanding dengan Earspace terdapat Earstore yang menjadi tempat distribusi karya-karya seni, merchandise, juga rilisan fisik musik. Ah! Terima kasih untuk LO artis yang merupakan teman-teman yang sering ngopi di earhouse, Andin, Budie, Rara, dan juga Acit yang menulis reportase acara untuk dokumentasi. Terima kasih untuk tim tata lampu, suara, Reiproject Management, Earcrew Earhouse, semuanyaaaaaa! Saya tak bisa sebut satu persatu..

Di penghujung malam, saat berberes, nona manis yang sering mengunjungi Earhouse berkata kepada saya. “Mbak, terima kasih ya. Kalau nggak ada acara ini, mungkin aku nggak pernah nonton Marjinal. Ternyata mereka keren banget! Lirik lagunya bagus-bagus! Aku suka! Fansnya juga sopan-sopan.”, ujarnya sambil menatap mata kemudian memeluk saya. Ah!

Terima kasih untuk seluruh pihak yang sudah mendukung acara, juga kalian semua yang sudah datang atau pun mendoakan kelancaran acara. Saya sayang kalian semua.. :’)

Salam silaturasa,
Endah

Foto oleh Nala Satmowi (@kwetiausapi)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*