Hari Selasa, 17 November 2015, pukul 3 petang.

Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk dalam telepon seluler saya. Tertera nama teman lama, musisi perempuan hebat, Tiwi Shakuhachi.

“Endah, ntar malem sudikah nonton Ron Carter?”

Saya panik! Apa? Ron Carter?!

poster ron carterRon Carter adalah bassis (upright) senior legendaris berusia 78 tahun yang sudah menghasilkan banyak karya yang menginspirasi musisi-musisi jazz dunia. Ia ada di Jakarta untuk tampil dalam format trio bersama Russell Malone (gitar) dan Donald Vega (piano) di Motion Blue, Fairmont, Jakarta. Dan malam ini adalah pertunjukannya yang terakhir setelah 3 hari rangkaian penampilannya di Jakarta di tempat yang sama.

“Sama Rhesa, ya.”, sambungnya memastikan bahwa kami datang berdua.

Saya langsung mencoba mengatur ulang jadwal temu saya bersama teman saya yang (untung saja) belum sempat berangkat dari Bandung menuju Jakarta. Saya harus hadir di pertunjukan ini dan menonton ‘opa’ Ron!!!!!

Pukul 9 malam saya tiba di Motion Blue. Restoran kelas atas ini berada di Fairmont Hotel Lt. 3, persis sebelah Plasa Senayan. Saya bergegas menemui Tiwi di depan Blue Motion, dan betapa senangnya saat saya bertemu teman-teman lain (yang sebagian besar adalah musisi jazz terbaik di kota ini) dan melepas kangen dengan mereka. Tiwi segera menuju ke meja registrasi dan menyebutkan nama kami sebagai undangannya. Kemudian kami memasuki ruangan dan memilih tempat duduk yang dekat dengan panggung.

Our table
kika : Rhesa, Sheila Permatasaka, Tiwi Shakuhachi, Athy Fadhilka, Mercy Nathalia

Ini adalah kali pertama saya datang ke Motion Blue. Meskipun baru dibuka sekitar dua bulan ini, saya sudah mendengar banyak kabar baik mengenai musisi-musisi berkualitas yang tampil di tempat ini. Tempat ini sebenarnya adalah restoran yang dilengkapi dengan panggung pertunjukan. Namun saya bisa merasakan karisma panggung di tempat ini karena tata lampu dan backdropnya yang cukup serius. Ukuran panggungnya tidak terlalu besar. Mungkin ideal untuk format quartet atau quintet dengan grand piano dan drum. Namun sepertinya akan terasa berdesakan untuk format Big Band. Tinggi panggung hanya sebatas dengkul saja tanpa ada pembatas apa pun dari meja bagian paling depan. Intim. Itulah suasana yang saya rasakan di Motion Blue.

IMG_1264

Setelah mencicipi hidangan yang enak, pertunjukan Ron Carter & The Golden Striker dimulai pukul 20:00 WIB tepat. Seketika ruangan hening, tepuk tangan menggema, orang yang berlalu-lalang langsung duduk dan melipir ke tepi ruangan.

Saya melihat tiga sosok musisi yang luar biasa ini hanya dalam jarak 3 langkah kaki dari tempat saya duduk menuju panggung. Saya menahan rasa histeris saya saat melihat Russell Malone. Oh Tuhan! Saya mendengarkan permainan gitarnya saat saya belajar jazz ketika saya SMA. Dan gitaris ini kini hadir di hadapan saya!

Sesuai aba-aba Ron Carter, musik mulai berkumandang. Ajaibnya! Bukan Ron Carter yang saya lihat malam itu. Saya sangat tertarik dengan permainan gitar Russell Malone. Bukan! Bukan karena saya pemain gitar. Tetapi karena Russell Malone bermain dengan sangat luar biasa. Ia benar-benar seperti ‘penjaga gawang. Tempo bermainnya sangat stabil, rhythmnya kuat dan ‘groove’, tone (notasi maupun ghost notes) sangat jelas sekali. Ah!!! Saya membayangkan betapa nyamannya bermain dengan Russell Malone!

Saya juga menikmati permainan Ron Carter dan Donald Vega. Tak perlu dipungkiri, mereka memberikan penampilan improvisasi yang sangat baik. Saya bisa melihat jelas komunikasi yang mereka lakukan di panggung, tidak secara verbal, melainkan secara gesture dan sound. Saya merasakan ‘sense of humor’ yang tinggi antara Russell Malone dan Ron Carter. Terlihat saat mereka saling bersahutan ‘comping’ harmoni dan rhtyhm. Kadang menyelipkan lick lagu “Birdland”, atau comping ala Theolonious Monk. Mereka bertiga terlihat sangat menikmati penampilan malam itu.

Saya mendapatkan pengalaman musikal yang luar biasa. Melihat musisi-musisi legendaris tampil di hadapan saya. Mereka menghadirkan bermacam-macam ‘groove’ dan style rhtyhm. Seperti medium swing, ballad, ragtime hingga membuat pertunjukan durasi 1 jam lebih tidak membosankan. Ketepatan mereka dalam memainkan harga not membuat penampilan malam itu sangat ‘tight’. Masing-masing mereka berimprovisasi dengan bijaksana. Tidak berlebihan unjuk skill dan teknik, melainkan merangkai kalimat dan (surprisingly!) memberikan banyak space/ napas/ diam di setiap improvisasinya.

Saya tersentuh ketika Donald Vega memainkan Concierto De Aranjuez (Adagio Theme) dengan intro ballad yang mempesona. Kemudian merasakan kejutan saat Ron Carter dan Russel Malone masuk mengiringi Vega dengan rhythm bernapaskan flamenco bertempo lambat. Mereka bisa bermain dengan dinamika yang begitu pelan, sangat pelan, hingga sendok yang menyentuh piring bisa terdengar begitu jelas. Transparan. Dinamis. Komunikatif!

Ah! Tapi, lagi-lagi Russell Malone-lah yang mencuri hati saya malam itu! Dia adalah rhtyhm keeper yang hebat!

Pertunjukan berakhir dengan encore sebuah lagu standar “There Will Never Ever Be Another You”.

IMG_1265

Cerita ini belum berakhir.

Tak lama setelah mereka silam di samping panggung, Russell Malone keluar ruangan. Tak lama Donald Vega menyusul. Saya segera meminta waktu untuk berfoto bersama. Saya cukup terkejut dengan keramahan mereka berdua melayani orang-orang yang hendak berfoto dengan mereka. Jumlahnya memang tidak terlalu banyak. Tapi mereka tampil dua kali hari ini, pastinya mereka pun lelah.

Setelah saya foto bersama, saya kembali ke meja. Namun Tiwi memanggil saya dan Rhesa. Ia memperkenalkan kembali saya dengan Rhesa bahwa kami adalah sepasang suami-istri yang bermain musik. Russell Malone berkata, “I know that you’re playing guitar! I can see it from the way you watch me!”, katanya. Mungkin karena saya duduk dengan tepat melihat ke arahnya. Dan, jujur saja, saya memang tidak bisa melepaskan pandangan saya pada permainannya meskipun pada saat instrumen lain sedang melakukan solo instrumen.

“Do you want to try my guitar? Come with me!”, katanya.

WHAAAAT!! WAIITTT???! FOR REAAALL!!??

FullSizeRender_1Saya gugup. Tiwi, yang melihat saya kebingungan merespon, langung menjawab “Sure!!! Let’s go, Endah! You should try it!”, katanya menyadarkan saya dari kegugupan saya. Saya segera mengikuti langkah Mr. Malone dari belakang. Kami masuk ke sebuah ruangan kecil di samping panggung dengan sofa yang cukup nyaman. Mr. Malone mengeluarkan gitarnya dari soft case. “Here! Try it!”, katanya sembari menyodorkan gitarnya.

Oh! Aku tidak mengira!!!! Aku duduk di sebelah Russell Malone dan mencoba gitar yang tadi ia mainkan di panggung. “It’s 1969 Gibson Super 400. It’s an expensive stuff. How is that? Do you like it?”, tanyanya kepada saya.

Oh, siapa yang tidak suka gitar hollowbody seharga $10k ini?? Suaranya bagus, bahkan ketika tidak dicolok ke ampli. Suara kayunya terdengar jelas. Tone dan intonasi senar (fret) juga sangat baik. Kondisi gitarnya sangat baik. Terlihat sekali Mr. Malone sangat menjaga dan merawat gitarnya dengan apik. Ia menggunakan senar merk D’Addario fletwound ukuran 0.13. Namun tidak terasa berat karena ‘low action’. Playability ukuran neck sangat nyaman untuk telapak tangan saya yang kecil. Hanya memang body-nya cukup besar dan berat untuk saya.

“Is the guitar heavy for you? Because you sit while you’re playing it on stage.”, tanya Rhesa.

“No. It’s not heavy. Well, in this band, I just love to sit when I play because I feel more relax. I don’t like to waste my energy for something unnecessary.”, jawabnya.

 

Saya bertanya banyak sekali malam itu. Mengenai rhtyhm, groove, pengaturan tone dan volume, hingga tips & trik bermain bersama piano yang notabene sama-sama instrumen harmoni. “Sometimes, it’s better you don’t play anything at all. Specially when you play with bass that play the low register, and piano has low and high register, all I need to do is play two notes only. 3rd and 7th, and then I play ghost notes to imitate the snare/ hi-hat.”, ujarnya membuka rahasia rhtyhmnya.

Kami berbincang selama hampir setengah jam dengan suasana yang sangat intim. Selain saya, Om Venche Manuhutu (gitaris dan guru jazz senior) dan beberapa musisi lain ikut berdiskusi dengan Russel Malone. Donald Vega juga melakukan hal yang sama di luar ruangan, berbincang dengan teman-teman musisi lainnya. Tentu saja saya tidak lupa berfoto dengan Russell Malone.

IMG_1268

Ah! Saya pulang dengan hati riang gembira. Saya mendapatkan pengalaman musikal yang luar biasa. Tapi yang lebih berkesan lagi adalah saya belajar dari Russell Malone dan Donald Vega untuk menjadi musisi yang rendah hati, hangat, dan bersahabat.

I feel blessed.

Terima kasih, Tiwi atas foto dan undangannya. Sheila atas pilihan menu makanan yang enak, Mercy dan Athly Fadhika atas bincang-bincang serunya.

—–

Repartoire :
1. Komposisi original Ron Carter “A Gathering of Old Men” dari film Blind Faith
2. Parade. Komposisi Ron Carter yang direkam 7 tahun lalu.
3. Saya lupa judulnya
4. Concierto De Aranjuez (Adagio Theme)
5. Sebuah lagu ragtime swing, tahu melodinya tapi lupa judulnya. Haha!
6. There Will Never Ever Be Another You (Encore)

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*