Rhesa dan Fodera
Sudah sejak lama saya mengetahui bahwa Rhesa senang sekali dengan bass Fodera,
sebuah bass butik buatan Amerika yang ternama. Sejak tahun 2003, saya mengenal Rhesa demikian pula mengenal Fodera. Ia selalu antusias menunjukkan foto atau video Victor Wooten dengan bass Yin Yang-nya yang menawan.
Sebagai musisi, tentu saja saya mencoba obyektif menggali karakter suaranya. Ya, memang enak. Namun awalnya saya berpikir, mungkin, karena Rhesa suka dengan Victor Wooten lalu apa yang dipakai jadi bagus. Hahaha! Ya, saat itu belum telingaku belum benar-benar peka. Rhesa pakai bass apa saja saat itu buat saya ya enak-enak saja. Hingga akhirnya musik Endah N Rhesa berkmbang, seiring dengan pengetahuan serta pendengaran. Ya, instrumen Endah N Rhesa di panggung hanya 3, yaitu gitar, vokal, dan bass. Tentu saja akhirnya ketiga bunyi itu yang lekat dan dioptimalkan.
Awal tahun 2012, saya masih ingat betul saat kami berdua di Melodia Musik. Rhesa menatap nanar Fodera NYC Deluxe 4 strings dihadapannya. “Hon.. Fodera, Hon..”, ujarnya bergetar. Rhesa tidak pernah merengek, juga tidak pernah meminta kepada saya (terang-terangan) untuk membeli sesuatu yang ia tahu bahwa itu akan memberatkan kami. Namun saya tahu betapa ia sangat menginginkan bass itu. Saya tertegun melihat harganya. “Kalau sudah beli bass ini, aku nggak beli lagi yang lain. Ini sudah impianku dari dulu.”, katanya. Ya.. saya tahu itu nggak akan berlaku. Hahaha! Lha ya musisi, mana bisa berhenti memenuhi keinginan duniawi yang satu ini. LOL!!
Saya berusaha keras mengutak-atik anggaran rumah tangga. Kesempatan ini… jika tidak sekarang diambil, maka entah kapan akan datang lagi. Harga tidak murah, teman. Saya tidak akan menyebut angka di sini, silahkan cari sendiri. Saat itu pendapatan kami ya pas-pasan. Hidup musisi bukan hanya sekedar alat musik dan perefekan.. ya, kami juga punya tanggungan.. seperti halnya keluarga-keluarga lain. Tapi aku, sebagai seorang istri (juga musisi) sangat memahami perasaan suami (juga bassisku) yang melihat bass impian di depan mata. Akhirnya dengan sekuat tenaga dan Bismillah… saya mengajukan angka untuk cicilan, serta melihat kontrak kerja sama dengan beberapa event dan kalender untuk gambaran perhitungan pendapatan beberapa bulan ke depan. Sebuah komitmen diciptakan untuk mewujudkan impian. Toh yang dibeli adalah ‘pancing’, bukan ‘ikan’.
Saya masih ingat betapa bahagia wajahnya saat membawa pulang bass impiannya. Fodera! Mata ini pun berkaca-kaca. Kebahagiaan bukan hanya milik Rhesa saja, tetapi juga milikku dalam arti yang nyata. Ya, saat di panggung, ‘tone’ low dan mid sama sekali tidak mengganggu gitarku. Dengan demikian saya bisa mendengar jelas not bass yang dimainkan. Ya, nyaman. Intinya, saya ingin tone bass terdengar dengan frekuensi yang tetap enak di telinga. Bahasa ‘kliennya’ adalah saya mau suara bass yang merangkul, kawin, bulet, tebel tapi bisa galak dan nongol saat diperlukan.
Butuh waktu 3 bulan hingga bass ini lunas. Rasanya lega dan bahagia bukan kepalang. Karena saya yang setor tiap bulannya, yang atur semua keuangannya. Rhesa ya tinggal pakai saja. Hahaha!
Kecintaan Rhesa pada Fodera bukan sebagai gaya-gayaan. Bukan. Dia bukan tipe orang yang mau sekedar keren-kerenan. Rhesa itu orang yang penuh dengan alasan. Perlu argumen yang kuat ketika diskusi, berdebat, atau hendak memecahkan masalah. Ia punya alasan-alasan kuat kenapa ia menyukai Fodera. Selain ‘sound’ ternyata ia punya alasan yang begitu personal dan menyentuh hati. Saat ia menggunakan bass kupu-kupu ini, ia merasa percaya diri untuk bermain. Sebelumnya, ia tidak pernah merasakan itu karena ia bukan basis dengan teknik yang luar biasa dengan kecepatan cahaya atau slap-slap mengerikan. Rhesa itu senang mengiringi, namun selama ini ia tidak pernah benar-benar percaya diri dengan soundnya, setidaknya dengan bass sebelumnya. Hingga akhirnya ia menemukan belahan jiwanya, saya, eh.. Fodera. Hahaha!
Sejak punya Fodera yang pertama itulah, Rhesa berlatih 5 jam sehari setiap hari selama setahun dari jam 12 malam hingga jam 5 subuh. Ia seperti mengejar ketertinggalannya selama ini. Ia bilang bahwa akhirnya semua gambaran bunyi yang ada di kepalanya bisa dieksekusi dengan bass ini. Ia juga terlihat begitu nyaman dan menyatu dengan bassnya. Saat itu, saya menyaksikan sendiri perkembangan teknik yang pesat tanpa harus kehilangan insting ‘bernyanyi’ melalui bassnya.
Rhesa dan Fodera adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Hingga akhirnya Yin Yang 4 strings, 5 strings. Dan kemudian ia bisa mencapai impian tertingginya, menjadi Fodera Artist dan memiliki ‘custom bass’ sendiri. Mufasa! Semua ini terjadi berkat bantuan sahabat, Alfred Wanasida, yang selalu memotivasi dan memberikan pengetahuan serta referensi detail kayu, pick up, crafting, hingga teknis pengerjaannya. Latar belakang Alfred sebagai arsitek bisa membuatnya kritis ketika menelaah sebuah karya seni. Alfred pun juga mencintai bass seperti ia mencintai istri.. eh.. Wkwkwkw! Ya, bass (dan instrumen lain) tentu saja adalah sebuah karya seni.
Rhesa dan Fodera tak bisa dipisahkan. Mereka seperti sahabat, berpetualang bersama, susah senang bersama. Tak jarang sebenarnya saya sering terharu di dalam kamar ketika malam hari menjelang tidur mendengar ia memainkan bassnya. Saya masih tak percaya, seorang Rhesa (yang dulu underdog, seringkali diremehkan) bisa mewujudkan impiannya. Tidak dengan mudah tentunya… penuh keringat, kerja keras, air mata. Ia bukan orang yang pendendam. Ia orang yang selalu membangun dan memberi kesempatan. Ia orang yang sensitif, penuh cinta. Ia jujur apa adanya. Seperti Mufasa.
Love,
Endah Widiastuti
Foto 1 (Victor Wooten) diambil dari website Music Area
Foto 2 (Rhesa & NYC) oleh Endah
Foto 3 (Rhesa & Yin Yang Standard 4 Strings) oleh Guswib
Foto 4 (Rhesa & Yin Yang Standard 5 Strings) oleh Ocha Panda
Foto 5 (Rhesa & Mufasa Imperial 5 Elite) oleh Nala Satmowi
One thought on “Rhesa dan Fodera”
Touchy but fun story.. Congrat Rhesa n Endah.. sooo happyy for this blessing. Go faster n though like Mufasa ???