Graha Bhakti Budaya dan Kenanganku Bersamanya
Sudah beberapa waktu lalu saya mendengar kabar bahwa Graha Bhakti Budaya akan direnovasi. Tentu saja mendengar pula kabar pergolakan respon terhadap rencana tersebut. Ada yang menolaknya, ada pula yang berharap apabila terjadi maka akan membawa kebaikan bagi semuanya.
Kemudian pagi ini, saya melihat foto dan berita beredar.. gedung GBB mulai dibongkar. Timbunan puing tanda-tanda rubuhnya dinding bersanding dengan eskavator. Belum lagi melihat Dialog Dini Hari yang memuat momen konser DDHEAR tahun 2016 lalu di instagramnya.
Mendadak hati ini tergetar, air mata mengalir di pipi, memang tidak sampai terisak-isak, namun dada ini terasa sesak. Saya dipenuhi dengan kesedihan dan ketakutan.. ketakutan akan kehilangan kenangan.
GBB adalah tempat saya memendam cita-cita di masa lampau. Di sana pula saya pernah menaruh hati pada seorang teman, dan kemudian kami berkencan dengan menonton pertunjukan para seniman. Usai pementasan, kami membahas adegan demi adegan, kadang ditemani rintik hujan. Ah, tidak! Kami tidak sempat jadian. Semua tidak seromantis yang dibayangkan. Cinta juga bisa kandas bahkan sebelum ia mulai bermekaran. Namun tentu saja banyak hal yang bisa menjadi kenangan. Biarlah ia menjadi sekelumit cerita di remang teras Graha Bhakti Budaya.
Dulu pernah bermimpi suatu hari nanti akan tampil di atas panggung Graha Bhakti Budaya. Semangat itu lahir saat saya menonton pementasan Teater Koma tajuk Maaf.. Maaf.. Maaf (2008). Kebetulan Rhesa menjadi salah satu musisi pada grup musik teater yang dipimpin oleh Mas Ohan untuk pementasan tersebut. Mimpi tersebut kemudian tercapai tahun 2014 saat tampil bersama Endah N Rhesa di acara “Singing Toilet”, sebuah acara amal untuk bencana alam meletusnya Gunung Sinabung. Durasi cukup singkat, namun saya begitu menikmatinya.
Kenangan hebat lainnya saat konser kolaborasi bersama Dialog Dini Hari (DDHEAR) tahun 2016. Saya merasakan magisnya Graha Bhakti Budaya. Ia tidak lagi menyeramkan, namun tetap saja ia bagai tantangan yang meminta untuk ditaklukkan.
Tahun 2017, saya tampil bernyanyi sendiri di pementasan Dialita “Konser Perempuan untuk Kemanusiaan”. Untunglah momen tersebut terekam dalam album “Salam Harapan”. Saya masih ingat betapa gemetar rasanya tampil sendirian. Malam itu panggung GBB begitu berkarisma, berulang kali tampil, gladi resik, mondar-mandir pun tak semudah itu mengambil hatinya.
Graha Bhakti Budaya bukan sekedar venue saja, namun saksi mata bagi karya-karya yang mengalir di dalamnya. Ia menghidupkan cerita dan kenangan, bagaikan sahabat bagi para seniman. Ah.. Graha Bhakti Budaya.. aku tak lagi mampu berkata-kata… terlalu banyak kisah.. terlalu banyak rekaman perasaan. Biarlah malam ini aku bercumbu dengan kenangan akan dirimu sebelum kemudian terkubur oleh wajahmu yang baru.
Pamulang,
07.02.2020