
Menghadapi Wartawan Baru
Masih teringat di sebuah acara di mana Endah N Rhesa turut berpartisipasi di dalamnya, kami dijadwalkan ada temu media. Kami disiapkan ruangan khusus untuk mengadakan press conference sebelum jadwal manggung tiba. Kami tiba di venue dan ruang media tepat waktu. Ketika sampai di ruangan berkapasitas 50 orang, kursi-kursi masih kosong berjajar. Hari memang masih sore, kami juga jadi penampil pertama. Kemungkinan karena cuaca buruk, jalanan macet, dan segudang alasan lain membuat media tidak bisa hadir di ruangan. Bisa juga karena… hanya Endah N Rhesa, sepertinya tidak terlalu menarik untuk diberitakan. Hehehe. Ya, buat kami anggapan begitu sudah biasa. Tidak apa-apa. Media berhak memberitakan siapa pun yang mereka inginkan karena mereka lebih paham dengan berita apa yang diinginkan oleh pembacanya.
Saat itu ada satu media hadir yang menghangatkan hati saya yang sedingin cuaca di luar. Dua perempuan yang mewakili satu media radio setempat. Akhirnya saya dan Rhesa memutuskan untuk beranjak dari meja depan ruangan mendekati mereka. Kami memutuskan untuk berdialog dengan intim, face-to-face.
Saat saya duduk dihadapannya, ia gugup. Rekannya berdiri dan merekam pertemuan tersebut melalui HP. Saya bertanya, “Ya, gimana?”. Perempuan ini, saya lupa namanya karena ia juga tidak menyebutkan namanya untuk memperkenalkan diri, tiba-tiba terdiam dan memandangi rekannya yang memegang HP. Ya, ia masih sangat muda. Terdengar suaranya lirih menghela napas. Masih belum berkata-kata. Saya bertanya lagi, “Ada yang mau ditanyakan?”. Ia menjawab “Eh, apa ya..”, kemudian ia kembali memandangi rekannya. Rekannya memandangi balik tanpa berkata-kata dan sibuk berlindung di balik HP yang merekam semuanya. Kemudian perempuan ini (akhirnya) bersuara, “Eee.. mau tanya tentang buku.”, ujarnya. Intonasinya tidak terlalu jelas apakah itu sebuah pertanyaan lengkap atau masih ada lanjutan kalimatnya. Karena itu saya tidak langsung menjawab karena menunggu soal buku apanya yang mau ditanyakan. Kemudian kami kembali hanyut dalam keheningan yang canggung disaksikan para panitia.
“Maaf, Kak. Ini saya sebenarnya tadi disuruh ke sini karena katanya ada wawancara. Saya nunggu media lain belum datang. Jadi saya nggak ada persiapan.”, ujarnya. Saya memandanginya dengan perasaan berkecamuk antara geli, heran, kasihan, juga bingung mau gimana menanggapinya. Rhesa tetap ramah dan mencairkan kecanggungan, “Tadi mau nanya apa? Soal buku ya? Iya kami baru rilis buku..”, ujar Rhesa. Kemudian saya melanjutkan bercerita tentang buku lebih mendetail. Entah paham atau tidak, ya, cerita saja. Yang penting nggak awkward! Hahaha!

Foto oleh Ocha Panda
Syukurlah tak seberapa lama beberapa media lain datang. Kali ini terlihat perbedaan yang menonjol antara dua perempuan tadi dengan mereka yang baru datang. Media yang baru datang begitu siap dengan segala perlengkapan dan pertanyaan. Tak sampai semenit mereka masuk ke ruangan langsung memburu dengan pertanyaan, gestur percaya diri menyorongkan alat rekam, dan menatap mata tanpa ada keraguan. Saya berkesimpulan bahwa dua perempuan tadi adalah wartawan baru. Mereka baru terjun di dunia jurnalistik. Terlihat dari usia yang muda ditandai suara dan penampilan, gestur tubuh yang tertutup dan masih belum PD dengan kegiatan wawancara, belum ada persiapan pertanyaan, masih pasif saat terjun di lapangan. Bisa jadi kesimpulan saya salah, ya, ini hanya kesimpulan awam saya saja.
Saat melakukan pekerjaan, terutama begitu di lapangan, banyak hal terjadi yang di luar dugaan. Ya memang di luar dugaan tiba-tiba artis datang menghampiri, kemudian tidak ada satu pun rekan media lain hadir, tidak bisa mencontek pertanyaan atau mengutip jawaban yang media lain lontarkan untuk beritanya. Waw! Panique. Maka dari itu persiapan rasanya sangat diperlukan. Ya, memang saya bukan orang media, tapi sebagai yang diwawancara saya akan senang sekali jika berjumpa wartawan yang siap dengan segala pertanyaan. Paling mudah ya riset dulu nama-nama yang di poster itu. Bisa lewat google, youtube, cari berita terbaru lewat media sosial artisnya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana juga tidak apa-apa. Saya malah risih kalau ada wartawan yang terkesan sok tahu atau bertanya opini tentang isu terbaru yang hangat di dunia pernetijenan. Nanti kalau nggak tahu jadi headline : “Ternyata Endah Widiastuti Tidak Tahu Kalau Nia Ramadhani Tidak Bisa Mengupas Buah Salak.”. Well… that kind of news… LOL!

Foto oleh Nala Satmowi
Mengenal market media sendiri juga penting. Kalau medianya meliput musik ya berita tentang musik, tanya soal album, soal karya. Kalau medianya mengulas tentang gaya hidup anak muda bisa tanya soal kegiatan di Earhouse. Kalau medianya mengulas soal fashion, bisa bertanya soal bagaimana persiapan kami setiap manggung, kacamata yang selalu sepadan, atau gaya berpakaian favorit. Kalau medianya marketnya ibu-ibu juga bisa tanya bagaimana membagi waktu antara karir dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bisa juga bagaimana mengatur keuangan sebagai musisi. Kalau medianya marketnya laki-laki bisa tanya seputar musik apa yang didengar saat mengendarai mobil, olah raga apa yang digemari, bagaimana cara laki-laki meluluhkan hati perempuan Alpha. (Ehem!). Itulah mengapa saya selalu tanya kepada wartawan yang mewawancarai saya dari media mana supaya saya paham arah pertanyaannya dan siapa pembacanya.
Sejujurnya ya, kalau sebagai musisi, saya lebih suka ditanya pertanyaan tentang karya, kegiatan bermusik, video musik yang baru rilis, kolaborasi, pandangan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan musik, instrumen musik, gear, berbagai pandangan dan diskusi tentang musik saat ini. Btw, Endah N Rhesa baru keluar buku “I’m All Ear’s : Endah N Rhesa Music Journey” yang ditulis Eko Wustuk. Kalau mau tahu lebih dalam tentang Endah N Rhesa bisa baca buku itu, lontarkan pertanyaan-pertanyaan setajam silet mengenai isi di dalamnya. Diskografi juga lengkap, bisa dilihat kami berkolaborasi dengan siapa saja. Muncul deh pertanyaan-pertanyaan baru yang mungkin tidak ditulis oleh media mana pun juga.
Menjadi wartawan itu tidak mudah. Ia profesi yang begitu mulia, maka dari itu perlu dijunjung dengan dedikasi dan norma-norma.
Wartawan tugasnya menyampaikan berita dari narasumber, sebagai penampung opini, memberi informasi, memberikan gambaran terhadap situasi terkini, bisa juga ia yang menguak fakta dan data sebagai penguat berita. Ulasan-ulasan yang bagus bisa menjadi acuan pembaca untuk melakukan riset, menggerakkan hati melakukan sesuatu, menambah wawasan dan pengetahuan.

Foto oleh Nala Satmowi
Saya sangat terinspirasi dengan komik Tintin karya Herge. Tintin adalah seorang seorang wartawan yang memecahkan berbagai kasus internasional saat mengusut sebuah berita. Melalui komik itu, saya jadi paham bahwa penting sekali bagi wartawan untuk benar-benar paham data dan fakta sebelum ia menyiarkannya ke publik. Komik Tintin menjadi menarik karena jalinan cerita menjadi mengalir fokus pada satu kisah tertentu, seperti komik action, namun ringan dan jenaka.
Untuk wartawan baru, jangan pernah ragu dengan profesimu. Dunia ini perlu pewarta yang berintegritas! Wartawan adalah penyambung lidah orang-orang yang teraniaya. Banyak orang membutuhkan bantuan kalian untuk menyuarakan hatinya atau penderitaannya karena ditindas, karena ditekan, karena diancam, oleh kekuatan-kekuatan yang tak terjangkau ranah akar rumput dan bawah tanah. Oh, tapi.. wartawan juga yang menyiarkan berita-berita hiburan yang bikin kami tertawa… seperti perang badar di kongres PAN, misalnya. Hahaha! Well… selamat meliput, selamat menjalankan tugas para wartawan yang mulia.
17 Februari 2020
Foto featured pada judul oleh Nala Satmowi
One thought on “Menghadapi Wartawan Baru”
semoga gak ada lagi wartawan yang tanya hal receh seperti: “agamanya apa?”, “penghasilannya per bulan berapa?” hahahaha. mending langsung tentang karya saja. apalagi karya EndahNRhesa yang sangat menarik untuk digali. bisa juga dijadikan bahan skripsi 🙂