Menemukan Alasan Untuk Bersama
Ada banyak kenangan saya kepada almarhumah mama saya. Tiba-tiba terlintas memori saya tentang beliau ketika saya masih di bangku SMA. Di suatu sore yang cukup santai, saya bercengkrama dengan mama di kamar.
“Ma, apa yang membuat mama cinta sama papa?”, tanya saya. Mama menerawang. “Papamu itu humoris, tidak membosankan. Dan dia selalu berusaha menjadi orang yang baik, kelihatan dari usaha ibadahnya.”, jawabnya tersenyum. “Mama pernah bosan sama papa?”, tansayaku lugu. Kembali menerawang mama menjawab, “Ya pernah.”, jawabnya jujur. “Terus kenapa mama terus sama papa sampai sekarang?”, tanyaku. “Karena ada kamu, Mbak Mita, Mas Arief. Anak mama yang lucu-lucu.”, jawabnya sambil uleng-uleng (memeluk dan mencium) saya di atas kasur.
Saya tergelak. Kemudian mama melepaskan pelukannya dan menatap saya penuh arti. “Cinta itu bisa bosan, Nduk (panggilan perempuan dalam bahasa Jawa). Yang tidak bisa bosan adalah tanggung jawab. Kalau mama dan papa bersama itu adalah tanggung jawab untuk menjagamu dan kakak-kakakmu. Ada yang bisa melakukannya sendirian. Tapi mama nggak bisa (melakukannya sendiri), begitu juga papa. Jadi ya harus bersama-sama.”, jawabnya.
“Ma, kalau ngga punya anak gimana? Lalu kemudian suatu hari bosan?”, tanya saya.
“Ya harus menemukan alasan apa pun memperjuangkan kehidupanmu bersama pasanganmu. Apa pun. Sesederhana alasan memiliki teman sampai akhir hayat dan bisa bersenang-senang bersama dan kamu tidak sendirian. Jika kamu sudah menikah, kamu akan mengerti betapa sulitnya kehilangan pasanganmu suatu hari.”, jawabnya.
Ya mama, aku mengerti sekarang. Di usia pernikahan yang ke-7 tahun dan belum dikaruniai anak tidak menjadi alasanku melunturkan kebersamaanku dengan Rhesa, suamiku. Banyak alasan untuk bisa bersama. Jika di grup-grup whasapp atau perkumpulan ibu-ibu selalu bilang ‘punya anak itu bisa doain kamu nanti saat kamu hidup. Saat kamu meninggal, amalan anak sholeh itu tidak putus untuk mengantarkan orangtuanya ke surga.’
Kemudian aku berpikir.. bisa jadi.. mungkin nanti memang tidak ada yang mendoakanku seusai sholat ketika aku tua atau saat meninggal. Namaku akan jarang disebut di dalam doa. “Robbi firlli waliwaalidayya warhahuma kamaa rabbayani soghiiro”.. (Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi diriku selagi kecil).
Ya, hingga kini aku masih bergantung kepada amalan-amalanku sendiri.
Tapi, demi Allah, tidak sedikit pun aku menyesali kehidupanku sekarang. Setiap orang, dan keluarga, memiliki standar bahagianya sendiri-sendiri. Aku, punya atau tidak punya anak, akan terus bahagia. Aku tidak rela mengisi hariku dengan kesedihan dan meratapi kesendirianku nantinya.
“Perempuan-perempuan yang kuat adalah mereka yang bisa tunduk kepada suaminya dan mengabdi kepada keluarganya. Namun ia juga bisa diandalkan saat sendirian.”, kata mama menutup percakapan sore itu. “Yuk nduk, maem mo. Wis tak cepaki endog e” (yuk nduk, makanlah. Sudah kusiapkan telurnya), katanya sambil beranjak ke ruang makan.
Love,
Endah
Ditulis di teras kamar 154 Griya Santrian, Sanur – Bali. 09.01.17.
featured image illustration by Rhesa Aditya
2 thoughts on “Menemukan Alasan Untuk Bersama”
so inspiratif kak endah,
ga sengaja aku dengar lagu kalian di radio mobil pas jalan pulang,
judulnya : wish u were here, pertama skali aku jatuh cinta sama karya kalian.
dan ternyata, kisah pernikahanku juga hampir mirip dengan kalian, aku menjalani 6 tahun pernikahan yang sampai sekarang belum dikaruniai seorang anak.
aku copas lagi :
Tapi, demi Allah, tidak sedikit pun aku menyesali kehidupanku sekarang. Setiap orang, dan keluarga, memiliki standar bahagianya sendiri-sendiri. Aku, punya atau tidak punya anak, akan terus bahagia. Aku tidak rela mengisi hariku dengan kesedihan dan meratapi kesendirianku nantinya.
Thanks atas tulisannya kak endah,
semakin Cinta ama karya kalian,
See u at JEC jogja 12 Feb
InsyaAllah aku akan terbang dari Batam ke Jog utk liat kalian…
cheers!
Yuki
Pencarian ear merch membawa saya ke tulisan ini. saya membaca, kemudian saya kirim link ke suami saya, lalu kami baca lagi bersama…dan saya mewek…
Saya pernah bicara konyol ke suami saya.. kalau saya memang ditakdirkan untuk tidak mempunyai ahli waris, mungkin saat meninggal nanti makam saya hanya akan terawat sampai 5 tahun saja.. setelah itu makam saya akan digusur karena tidak ada yang membayar pajak makam.. lalu tulang belulang saya akan mulai digeser, ditumpuk.. sampai nanti mungkin hilang nisannya, dan makam saya menjadi tak berbekas
Membaca tulisan ini membuat saya menangis tetapi ada rasa hangat di hati. Bersyukur memiliki seseorang yang mencintai, yang mau menghabiskan seumur hidupnya meladeni kerewelan saya, membuat saya berjanji dalam hati untuk selalu mengusahakan bahagia bersama..selamanya