Pagi yang cerah di Bandara Soekarno-Hatta terminal 3. Saya dan Rhesa mencari tempat berburu kafein, baik untuk pagi hari itu maupun sebagai perbekalan selama di luar kota. Kaki saya melangkah menuju Gate 14. Masih satu jam lagi. Cukup waktu untuk ngopi. Kemudian mata saya tertuju kepada coffee shop yang terletak tidak jauh dari Gate tujuan saya.

 “Di sini jual kopi bentuk powder?”, tanya saya kepada barista Anomali Coffee bandara Soetta. “Oh, di sini jual biji kopi namun bisa digiling jika memang diinginkan.”, ujarnya. Ah! Sempurna! Saya memang membutuhkan bekal kopi selama 2 hari ke depan. 
Barista/Store Manajer, yang kemudian saya kenali namanya adalah John Simanungkalit melalui tanda pengenal yang ia sematkan di dadanya,  memberikan beberapa pilihan kopi. Pilihan saya jatuh ke kopi Toraja. Segera ia menggiling dan menyeduh kopi permintaan saya sembari menanyakan tingkat kehalusan kopi yang saya inginkan. Ia terlihat passionate dengan apa yang ia kerjakan. Terlihat dari kefasihan dan antusiasmenya saat berbicara mengenai kopi yang tersedia di sana serta cara menyeduhnya.

“Mau kemana, Mbak? Ada gig ya?”, tanya Jhon dengan ramah sembari menggiling kopi saya. Ah! Saya terkesan.. Pertama, ia mengenali saya (musisi indie yang tentu saja memiliki pendengar yang spesifik). Kedua, ia menggunakan kata “gig” daripada kata “show” atau “manggung”. “Iya, mau ke Malang.”, jawab saya. “Ah, senang sekali saya bisa jumpa, Mbak. Saya suka dengan musik yang diusung.”, ia bertutur sembari mempersiapkan kopi saya. “Oh ya? Suka yang akustikan begitu ya?”, timpal saya sedikit memberikan gambaran besar musik saya, dengan harapan ia tidak salah orang. Hahaha. Saya penasaran.. mengarah kemana sebenarnya perbincangan ini.

“Saya cukup bangga, Mbak. Indonesia punya band seperti Tuck & Patti.”, jawabnya. Oh wow! Mulai menarik! Dan tidak salah orang! Hahaha! Ya, referensi yang sangat menarik. “Hahaha! Thank you. Tapi, wah, permainan gitar saya tidak se-skillfull Tuck Andress.”, kilah saya. Ia kembali bercerita, “Saya suka musik, Mbak. Saya malah merasa musik adalah part of my life. Tapi karena kerjaan ini, waktu saya untuk musik jadi berkurang. But I still put my heart in music.”. “Oh, Mas main alat musik juga? Punya band?”, tanya saya dengan antusias. “Iya, Mbak. Saya main gitar. Dulu band saya namanya Letter Box. Diambil dari lirik lagu The Beatles. Kita mencoba menginterpretasi musik non-vocal sih. Seperti John Coltrane, Theolonious Monk. Tapi, ternyata cukup susah ya.”, ujarnya sambil tergelak. Saya melihat kilatan mata terpancar. He loves music so much! Nama-nama yang ia sebut tentu saja nama-nama besar musisi jazz legendaris. Saya menangkap keseriusannya mencintai musik.

“Wow! Keren sekali bandmu. Masih sering main?”, tanya saya. “Hahaha. Sudah jarang, Mbak. Pekerjaan saya cukup menyita waktu. Jadi tidak sempat. Mbak mengingatkan saya dengan Emily Remler.”, ujarnya. “Emily Remler! Oh gosh, I love her. Gitaris perempuan yang main bebop dengan bagus!”, timpal saya bersemangat. Amazing morning conversation! Saya masih tidak percaya sepagi ini ada yang menyebutkan nama gitaris jazz perempuan yang mungkin jarang orang kenali kiprahnya. “Iya, kayaknya cuma dia ya, Mbak. Wait ada gitaris jazz perempuan (Amerika) lain gak ya?”, tanyanya. “Ada sih. Lenny Stern. Istrinya Mike Stern. Ia juga main gitar.”, jawab saya. “Oh ya? Wow saya baru tahu kalau istrinya Mike Stern main gitar!”, ujarnya. 


Kemudian ia menyuguhkan kopi yang sudah siap di cangkir putih. Saya pun segera menyeruputnya. “Ah! Enak sekali rasanya! Saya suka kopimu.”, ujar saya. Ia tersenyum cukup lebar hingga giginya terlihat dan berkata, “Ah, Mbak. Mendengarnya jauh lebih berharga dari uang yang Mbak bayarkan.”, jawabnya. Saya terharu mendengarnya. Kemudian saya membayar kopi saya sembari ia mempersilahkan saya menikmati momen saya.

Percakapan indah diawali dari memesan secangkir kopi yang berujung kepada menghubungkan hati antar pecinta musik. Mas Jhon, terima kasih sudah menyajikan kopi saya dengan sepenuh hati dan mengawali hari saya dengan baik sekali. Semoga kita berjumpa lagi, ya. 

Love,

Endah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*